Senin, 02 Maret 2015

Ketika coppo tille bercerita

18 oktober 2014, pagi itu ketika saya membuka mata terlihat pemandangan yang berbeda, suasana yang berbeda, hangat mentari yang beda, serta aroma embun yang lebih dingin dari biasanya.
Setelah menghirup nafas dalam-dalam saya pun mulai sadar, saya sedang tidak dirumah, saya sedang tidak dikamar yang berantakan, saya sedang tidak tinggal serumah dengan bidadari cantik yg melahirkan saya kedunia.
Saya mulai sadar, saya sedang di rumah seseorang yang wajahnya tak beda jauh dengan wajah ayah saya, saya baru saja terjaga dari tidur lelap dikampung kelahiran ayah saya, dan paling memuaskan hati ketika saya sadar bahwa hari ini, hari dimana tak ada hiruk pikuk keramaian kota, tak ada ulangan harian, tugas sekolah dan celoteh guru-guru tersayang. Dan juga, ada kamu disini, kamu? Iya kamu...
***

Desa kamiri, kabupaten barru kecamatan balusu. Saya beruntung bisa kembali ke kampung ini bersama orang-orang yang baru.
Saya berangkat dari parepare ke desa kamiri tanggal 17 oktober 2014 pada sore hari bersama kedua sepupu tercinta; Anci dan Messa. Tak lupa juga Adhe rahmat yusha rekan seperjuangan sekaligus ketua kelas saya yang hatinya terbuat dari baja selalu sabar menghadapi saya yang labil *eeaaakk* serta senior saya kak WawanK.
Karena ini kali pertama adhe dan kak wawank menginjakkan kaki di desa kamiri, saya merasa puas dan bangga bisa membawa mereka sampai kesini hehe.
4 jam perjalanan di tempuh dengan kendaraan motor melewati jalanan terjal yang membuat kaki keram akhirnya kita sampai dirumah paman saya sebut saja "Ambo mu'ing" namanya kece bro!
Yang ku suka dari kampung ini adalah penduduk yang ramah dan anak anak kecil yang lucu dan tangkas. Saya yakin tenaga mereka 3x jauh lebih kuat dibanding kami . sebenarnya mereka masih ada hubungan keluarga dengan saya, tapi untuk lebih jelasnya saya kurang mengerti. Poko'e kita semua bersodaraa huuuhaaaa....

Sebenarnya tujuan kami kesini adalah menyaksikan langsung acara 'mappadendang' yang sering dilakukan sebagai ritual pesta panen orang-orang suku bugis barru dan tentu saja karena ritualnya diatas gunung coppo tille, jadi kami bisa ikut mendaki gunung haha.

Dengan gaya ala-ala backpacker kami memanfaatkan moment malam hari sebelum melakukan pendakian esok harinya.
Adhe tak hentinya memotret, anci mengamalkan profesinya sebagai calon guru ke anak-anak kecil yang berkumpul dirumah ambo mu'ing dan kak wawank sibuk bertukar cerita dengan messa (baca: mereka bukan maho). Jangan tanyakan saya sedang apa pada malam itu, saya sibuk icip-icip biskuit. Lapar bro.
Biskuit dimulutku sudah semakin lumer, begitupun malam yang semakin larut.
Di antara merdunya suara lesung yang di pukul2 pada malam itu, tak terdengar suara jangkrik.. Lain pula diantara tawa renyah yang bising menusuk kuping, tawamu yang paling ingin ku curi agar bisa menenangkan hati. Kamu, iya kamu.
Malam itu, pengalaman berharga ku dapatkan dari secangkir teh hangat, sepiring Bette (baca: bette adalah makanan tradisional yang terbuat dari beras yang padat dicampur gula merah serta santan kelapa), ritual menumbuk lesung dengan irama, tawa canda mereka, dan persahabatan yang semakin hangat.
***

"Adhe bangunko weh pagi mi ayo liat sunrise" begitu ucapku kepada adhe ketika baru terjaga dipagi hari, ku lihat wajah temanku itu masih enggan meninggalkan bantal dan posisi tengkurapnya. Memang Pagi itu cuacanya sangat mendukung untuk berselimut dan bermalas-malasan saja tapi tujuan kita bukan itu.
Setelah adhe bangun, sunrisenya sudah berubah menjadi sunshine huffttt...
Tidak apa-apa, setidaknya kita masih bisa menikmati embun pagi yang dingin di pukul 07.00 .
Setelah prepare dan sarapan pagi, kita menyiapkan jasmani dan rohani untuk melakukan pendakian bersama penduduk yang akan melaksanakan adat mappadendang.
Tapi sepertinya perut saya dalam masalah, ikan teri dan nasi hangat ku lahap habis swaktu sarapan tadi hingga kekenyangan.
Alhasil, di jalur pendakian saya muntah-muntah. Sungguh memalukan. Ini bisa jadi pelajaran. Dont try this at home. Errrr....
Anci, kak wawank dan messa menolongku sambil tertawa puas, entah mereka puas karena perut saya lega atau puas karena melihat saya menderita. Nggg...
Tapi adhe tidak kok, mukanya harap-harap cemas sambil memberikan air minum di dalam botol yang di isi sebelum mendaki. Entah dia benar-benar care atau justru dia mau ikut-ikutan muntah haha.
Dijalur pendakian, seperti biasa banyak semut hitam yang nakal menggigit kaki pendaki, ada juga ulat bulu serta flora dan fauna yang lainnya. Idiihhh... Hahaa.
Kali ini saya kagum dengan kekayaan vegetasi coppo tille walaupun saya tidak menemukan tanaman langka namun semua yang ada disini masih jelas 'perawan'.  Bahkan jalan setapak pun sulit ditemukan di jalur ini.
Petualangan dimulai....
Sekitar 3km kita mendaki, kita akan menemukan rumah tempat pembuatan gula aren(golla cella) dan minuman tuak manis(Tua' cenning), semuanya berasal dari alam desa kamiri. Ah subhanallah sekali.
Di ketinggian sekitar +700mdpl kita akan sampai di tebing yang terdapat gua kecil, gua itu mengeluarkan air dimusim kemarau. Dan penduduk yang mendaki bergantian mengicipi air dari gua itu yang hanya keluar tetes demi tetes, ada juga penduduk wanita yang hanya mengusapkan ke wajahnya. Saya juga tak mau kalah, sambil di potret ala medina kamil saya mengicip setetes air gua dan setetesnya lagi saya usapkan diwajah. Konon air itu sangat sakral dan keramat. hanya keluar disaat acara mappadendang dan air itu tidak pernah habis walaupun di musim kemarau. Entahlah.
Setelah moment gua dan tebing kami abadikan di kamera Dslr milik adhe, kami pun melanjutkan perjalanan yang katanya sudah hampir mencapai puncak. Karena jalanan yang berbatu, saya memutuskan untuk mendaki tidak mengenakan sepatu, saya lebih percaya pada telapak kaki untuk mencengkram daripada alas sepatu walaupun cukup bikin kaki sakit hehe
Saya membuka sepatu di tebing tadi dan menitipnya dibalik semak-semak. Semoga saja saya tidak lupa mengambinya lagi ketika hendak turun gunung haha .

Tak terasa sudah pukul 12.00 kami sudah sampai di puncak coppo tille  ketinggian +840mdpl. Kedengarannya sih rendah tapi medannya yang menantang bikin kita merem melek saat nanjak.
Panorama indah terpancar luas di pelupuk mata, seakan tak ada kesempatan untuk terpejam. Subhanallah sungguh indah ciptaan Allah.
Hati ini tak bisa berbohong, betapa terharunya perasaan ini saat sampai dipuncak bersama orang-orang terkasih dan penduduk-penduduk ramah desa kamiri . berada di tempat tertinggi di bawah lindungan atap Tuhan, kami sangat bangga.
Hati ini pun tak bisa berbohong, ternyata bukan puncak coppo tille yang menyentuh dasar hati ini, tapi seseorang yang dengan senang hati menjadi teman yang menopang diri ini selama diperjalanan hingga ke puncak coppo tille, yang menggenggam erat tangan ini ketika kaki ini hampir jatuh terjebak jurang

Ternyata, hati ini akan tersentuh kepada seseorang yang setia beriringan jatuh lalu bangun untuk sampai ke puncak dibanding mereka yang tertawa gembira membiarkan diri ini jatuh bangun sendiri sambil menunggu kita di puncak .
Proses lebih penting daripada hasil. Dan hasil tak akan kau dapatkan tanpa adanya proses.
Mata ini melirik ke arahnya yang nekat bolos sekolah demi ikut berpetualang di desa kamiri dan puncak coppo tille.
Mata ini melirik satu orang, yang setia dalam suka duka. Yang sudah menerima keadaan apa adanya. Itu kamu. Iya kamu!

Terimakasih. Pengalaman ini kelak menjadi cerita manis semanis gula aren dan tuak manis desa kamiri.

Coppo tille, menyimpan banyak cerita..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar